Rabu, 25 Maret 2009

ANTARA TAFSIR DAN HERMENEUTIKA

Abstrak
Al Qur'an sebagai kalam Tuhan yang suci di turunkan kepada umat manusia melalui utusannya Muhammad adalah sebagai petunjuk bagi manusia dan sebagai pedoman dalam kehidupan manusia, yang berisi ajaran-ajaran dan nilai-nilai yang universal. Banyak kajian dilakukan para Ulama' terdahulu tentang penafsiran Al Qur’an, yang variatif-inovatif, baik itu diantara kalangan muslim sendiri Maupun non Muslim. hal itu disebabkan karena Al Qur'an adalah kitab yang transenden sekaligus profan, karena perpaduan antara dua faktor itulah Al Qur'an menjadi kitab yang unik dan banyak memunculkan pemikiran dan penafsiran yang terus berkembang hingga sekarang.
Dalam hal penafsiran ini kemudian muncul beberapa ilmuan muslim yang mencoba mendobrak keilmuan tafsir yang sejak lama terjadi stagnasi yang di latar belakangi oleh berbagai alasan dan berbagai faktor, dengan berbagai metode yang di pakai, tujuan kesemuanya adalah bagimana mencari makna asli dari sebuah kitab ajaran Ilahi sehingga manusia dapat menerima pesan universal yang diturunkan oleh Allah SWT sebagai petunjuk kehidupan manusia di bumi.
Pembaharuan penafsiran merupakan suatu sosialisasi teks secara universal. Bagaimana teks dapat menjadi sebuah sistem nilai dan mampu menjadi acuan yang proaktif. Sementara beberapa paradigma yang fundamental – kalau tidak bisa disebut wajib – bahwa menafsirkan sebuah teks tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Seorang mufasir (sebutan untuk penafsir) harus memiliki beberapa karakteristik dan syarat-syarat sebagai seorang penafsir. Dalam menafsirkan pesan-pesan Tuhan melalui teks, maka seorang mufassir harus melihat dan menemukan tujuan Tuhan sebagai author pengarang teks. Dan penafsir tidak boleh memasuki dunia author itu sendiri.
Teks merupakan pesan yang memiliki makna (meaning), penafsir sebagai manusia yang memiliki akal; sebagai otonomi berfikir, memiliki hak atau berwewenang untuk menginterpretasikan teks melalui imajinal kreatifnya.
Makalah ini adalah hasil dari sebuah penelitian yang bersifat library research atau kepustakaan, dengan mentelaah dari intsrumen data berupa dokumentasi: buku, article yang berkaitan dengan pembahasan. Dalam penelitian, yang diperlukan oleh seorang peneliti; dalam hal ini berada pada posisi out sider adalah menguasai bahasa teks, untuk memasuki dunia instrumen. Selanjutnya penulis mengadakan interview mendalam lewat observasi telaah dari data yang ditemukan.
PENAFSIRAN SEBAGAI METODE PEMAHAMAN

A. PENDAHULUAN
Munculnya utusan-utusan Tuhan ke bumi dalam rangka menyampaikan pesan-pesan Tuhan mengakibatkan kecenderungan manusia untuk mencari posisi yang tepat dalam memfilter dan menginterpretasikan pesan tersebut sebagai sebuah manifestasi Tuhan melalui imajinasi otonom; Akal sebagai sumber kekuatan manusia.
Adanya anggapan bahwa dalam budaya Islam terdapat masalah tidak berfikir (unthougt) atau kepasrahan terhadap takdir, dan tidak mempertimbangkan (unthinkable) “seperti yang diyakini oleh kaum Jabbariyah”. Juga seseorang atau kelompok yang membebaskan dirinya dari bukti teks ahli hukum atau menunda, mengabaikan bukti teks al-Qur'an dan sunnah dalam memperkuat argumennya dianggap sebagai kejahatan intelektual atau aneh. Kemudian pembatasan dan persyaratan-persaratan yang terentu dalam interpretasi pesan-pesan Tuhan tersebut, sehingga pesan Tuhan yang notabenenya adalah petunjuk secara universal bagi seluruh manusia seolah hanya boleh dan mampu ditafsirkan oleh orang-orang (baca: Ulama) tertentu yang sudah memanuhi syarat-syarat tersebut. Padahal pembebasan opini dari bukti teks adalah tergantung rasionalitas dan metodologinya.
Hal demikian adalah karena adanya cara yang berbeda dalam memaknakan sebuah teks antara insider dan outsider (Historian, Sosiolog, Psikolog). Insider memandang bahwa sumber utama ajaran Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah. Al-Qur’an adalah kitab yang dibuat oleh Tuhan Yang Maha Sempurna, benar dan abadi. Setiap kata, surat, kalimat yang dibuat oleh Tuhan pasti mempunyai tujuan sehingga orang Islam dalam memaknakan al-Qur’an adalah dengan mencari tujuan Tuhan di dalam tulisan al-Qur’an. Sementara sunnah berbeda dengan al-Qur’an. Sunnah adalah setiap perkataan, perbuatan dan sejarah yang disandarkan kepada Nabi. Orang Islam menyeleksi, mengumpulkan, mengorganisasikan dan menyebarkannya. Penyebaran Sunnah melalui rangkaian narrator yang panjang yang berakhir kepada Nabi. Hadits mutawatir adalah dikatakan lebih baik atau lebih autentik dari pada hadits ahad. Sehingga dari rangkaian penyelidikan ini terhadap teks-teks tersebut adalah tujuan untuk menilai sunnah autentik atau kurang autentik.
Pandangan tersebut berbeda dengan outsider dalam memaknakan sebuah teks. Menurut mereka penyelidikan tidak berakhir dengan autentik (shahih) atau kurang autentik (maudhu’). Bagi historian dalam memaknakan sebuah teks harus melihat catatan sejarah dan kondisi sejarah saat turunnya hadits, karena proses penyeleksian, pendokumentasian dan penyaluran sunnah adalah mengalami perubahan dan perkembangan. Memaknakan sebuah teks tanpa mengetahui historisnya adalah hal yang memalukan bagi historian, sehingga kehidupan penulis harus diketahui oleh para pembaca, agar memahami secara tepat keseimbangan antara pengarang sejarah (Nabi) dan berbagai suara pengarangan yang menyediakan context untuk usaha pengarang.
Bagi sosiolog dalam memaknakan sebuah teks (sunnah), harus melihat tanggungjawab dan peranan yang dimainkan oleh Nabi dalam memaknakan sebuah teks, harus mengandung bobot normatif, motivasi, dan nilai-nilai dasar. Karena pembaca dalam memaknakan teks adalah dengan membawa subyektifitas psikologi masing-masing. Dan makna lahir dari kesepakatan antara teks dan audient. Sementara seorang filosof memandang makna adalah hasil dari imajinasi yang diskriftif dan riil.

B. Dasar Pemikiran
Persoalan penafsiran selalu dihadapkan dengan bahasa dan tulisan (teks), dan ini meliputi seluruh kitab suci termasuk al-Qur’an, yang oleh umat Islam diyakini sebagai pesan Tuhan (wahyu). Yang manjadi sebuah agenda adalah bagaimana menafsirkan pesan Tuhan yang berbicara dengan bahasa “langit” dapat dipahami oleh manusia yang berbahasa “bumi” agar wahyu tersebut memiliki meaning (makna). Masalah pemahaman adalah masalah tekstual, artinya begitu kita mau memahami realitas, ia sebenarnya sedang menafsirkan sebuah “teks”, jadi “teks” itu sendiri memiliki makna seluas realitas.
Pembaharuan penafsiran merupakan suatu sosialisasi teks secara universal. Bagaimana teks dapat menjadi sebuah sistem nilai dan mampu menjadi ajuan yang proaktif. Sementara beberapa paradigma yang fundamental – kalau tidak bisa disebut wajib – bahwa menafsirkan sebuah teks tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Seorang mufasir (sebutan untuk penafsir) harus memiliki beberapa karakteristik dan syarat-syarat sebagai seorang penafsir. Dalam menafsirkan pesan-pesan Tuhan melalui teks, maka seorang mufassir harus melihat dan menemukan tujuan Tuhan sebagai author pengarang teks. Dan penafsir tidak boleh memasuki dunia author itu sendiri. Pendapat semacam ini identik dikenal sebagai sebuah penafsiran teks atau pesan-pesan tuhan “ala timur” (Islam). Pada tipologi yang lain , teks merupakan pesan yang memiliki makan (meaning), penafsir sebagai manusia yang memiliki akal sebagai otonomi berfikir, memiliki hak atau berwewenang untuk menginterpretasikan teks melalui imajinal kreatifnya. Penafsiran teks dengan imajinal manusia identik disebut sebagai Hermeneutika.
Dari kedua tipologi atau model penafsiran tersebut, merupakan dua kubu yang sangat kontradiktif, dua hal yang digunakan dalam menafsirkan teks pesan-pesan Tuhan dalam kitab yang berbeda pula.
Esensi dari sebuah penafsiran adalah pemahaman terhadap teks, dalam hal ini harus dibedakan antara tafsir al-Qur’an (teks) dengan tafhim al-Qur’an: penafsiran teks dan pemahaman teks. Bila pemahaman terharap teks dapat disebut sebagai tujuan dari penyampain teks, maka penafsiran teks tersebut adalah sebuah metode untuk pemahaman terhadap teks. Dari statemen dan argument tersebut, muncullah sebuah pertanyaan bagaimana penafsiran sebuah teks dapat menjadi sebuah metode untuk memahami teks? Bagaimana seorang penafsir (melalui metode penafsiran teks) mampu menjadikannya sebagai sebuah pemahaman terhadap teks. Sehingga esensi dari teks yang merupakan pesan – kalo bisa disebut juga sistem nilai – yang universal mampu menjawab kotrdiksi dari tipologi metode tafsir dan memiliki integrasi yang saling mendukung?

C. Sekitar Tafsir Dan Mufassir
Kata tafsir atau al-tafsir, yang dalam kitab suci al-Qur’an disebut hanya sekali, adalah berwazan (timbangan) kata taf’il. Kata yang disebut terakhir berarti “membuka”. Secara etimologis, tafsir berarti memperlihatkan dan membuka (al-azhar wa al-kasyf) atau menerangkan dan menjelaskan (al-idlah wa la-tabyin). Keterangan dan penjelasan itu pada lazimnya dibutuhkan sehubungan dengan adanya ungkapan atau pernyataan yang dirasakan belum atau tidak jelas maksudnya. Penjelasan dilakuka sedemikian rupa, sehingga ungkapan yang belum atau tidak jelas itu menjadi jelas dan terang.
Para mufassir di masa lalu, yang dimulai era Ibn Abbas, al-Farra, al-Thabari, ar-Razi, Thanthawi Jauhari dengan tafsir ilmi-nya hingga munculnya tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab telah menunjukkan upaya keras para mufassir untuk memberi pemahaman teks al-Qur’an. Berbagai metode dan pendekatan telah dicoba diaplikasikan agar pesan Tuhan yang berupa teks al-Qur’an mampu dan bias dicerna serta dipahami oleh para audient of text.
Kalau diklasifikasikan secara generalisir dapat diklasifikasikan menjadi tafsir bi-l-ma’sur, tafsir bi al-ra’y dan penggabungan keduanya, yakni sintesa antara ra’yu yang didukung oleh hadis Nabi dan asar para sahabat atau sebaliknya asar dipertegas dengan dukungan logika dan pengetahuan ilmiah dalam porsi yang bervariasi.
Nampaknya perkembangan penafsiran al-Qur’an mutakhir ditandai dengan maraknya para pemerhati al-Qur’an –dapat juga disebut pesan Tuhan- terutama mufassir, tawaran berbagai pendekatan keilmuan, terutama dengan dilibatkannya teori-teori ilmu sosial-humaniora kedalam wilayah tafsir al-Qur’an. Padahal sementara ini penafsiran yang kentara mungkin baru sebatas corak atau laun (warna) penafsiran, itupun masih cukup banyak diwarnai oleh subyektifitas keilmuan mufassirnya, bahkan setting sosio-politik dan aliran (mazhab) atau golongan tertentu. Akibatnya, produk penafsiran terkesan hanya diwarnai oleh kapasitas keilmuan mufassirnya berdasarkan keilmuan yang ia kuasai. Yang lebih heboh lagi adalah maraknya penafsiran dengan pendekatan komponen kebahasaan (linguistik), sepertt filologi, semantik, semiotik dan hermeneutika, dengan berbagai prosedur kerja masing-masing, bahkan teori eksakta (matematika), semisal metode yang dikembangkan oleh Muhammad Syahrur dalam Qirã’ah Mu’ãsirah-nya, meskipun menuai pro dan kontra.

D. Penafsiran Al-Qur’an
Agama Islam yang sumber ajaran dasarnya al-Qur’an dan hadis Nabi telah berjalan dalam sejarah yang cukup panjang. Menurut Harun Nasution, dalam garis besarnya sejarah Islam dibagi ke dalam tiga periode besar, yaitu periode klasik, periode pertengahan, dan periode modern.
Periode Klasik (650-1250M) merupakan zaman kemajuan Islam, perkembangan ilmu pengetahuan, baik dalam bidang agama maupun tidak, dan juga bidang kebudayaan Islam. Pada fase ini muncul ulama-ulama besar, seperti Imam Abu Hanifah (699-772 M), Imam Malik (712-798 M), Imam Syafi’I (766-820 M), dan Imam ibn Hanbal (780-855 M) dalam bidang hukum Islam muncul al-Asy’ari, al-Maturidi, dan sejumlah tokoh Mu’tazilah dalam bidang teologi, dalam bidang mistisime muncul Zunnun al-Mishri, al-Hallaj dan lainnya, dan dalam bidang filsafat ada al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina. Demikian pula dalam ilmu pengetahuan muncul seperti Ibn al-Hisyam, Ibn Hayyan, al-Mas’udi, al-Khawarizmi, dan al-Razi.
Periode modern merupakan periode kebangkitan umat Islam yang dimulai pada tahun 1800 M. Jatuhnya Mesir ke tangan Barat menginsafkan dunia Islam akan kelemahannya dan menyadarkan umat Islam bahwa di Barat telah muncul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman baru bagi Islam.
Sejarah umat Islam modern (periode modern) telah muncul satu substansi pengetahuan keislaman yaitu apa yang disebut dengan modernisme Islam. Hal ini amat menarik karena telah mengundang perhatian yang besar dari kalangan tertentu, khususnya kaum orientalis, untuk melakukan studi seksamamengenai substansi yang sat ini. Sebagai hasil studi mendalam terhadap masalah itu, muncullah buku-buku seperti Islam and Modernism in Egypt, karya C.C.Adams pada tahun 1933 M, Modern Islam in India, karya W.C, Smith di tahun 1943 M, Modern Trends in Islam, karya H.A.R. Gibb, tahun 1946 dan lain-lain.
Bahwa dari waktu ke waktu selalu ada usaha-usaha pembaharuan, atau penyegaran atau pemurnian umat Islam terhadap agamanya, menurut pendapat Nurcholish Madjid, itu merupakan sesuatu yang telah menyatu dengan system Islam dalam sejarahnya. Klaim serupa itu tampak sejalan dengan penegasan Nabi Muhammad dalam sebuah hadisnya yang memang mengisyaratkan adanya hal tersebut, yaitu:
إن الله يبعث لهذه الأمة رأس كل مائة سنة من يجدد دينها
“Sesungguhnya Allah swt akan mengutus seorang pembaru (mujaddid) untuk umat Islam pada setiap penghujng seratus tahun supaya ia memperbaharui (ajaran-ajaran) agama mereka. (HR. Abu Dawud).
Modernisme Islam atau pembaruan dalam Islam selama ini dipahami sebagai upaya untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan dinamika dan perkembangan baru yang timbul atau ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Atau, yang dimaksud dengan modernisme Islam adalah upaya memperbaharui penafsiran, penjabaran dan cara-cara pelaksanaan ajaran-ajaran dasar dan petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis sesuai dan sejalan dengan perkembangan situasi dan kondisi masalah yang dihadapi. Dengan demikian modernisme Islam bukanlah suatu upaya yang ringan tetapi ia suatu tuntutan yang penting untuk menghentikan proses degenerasi umat Islam dalam hamper semua segi kehidupan dan untuk menutup atau sekurang-kurangnya mempersempit kesenjangan antara Islam dalam teori dan Islam dalam praktek.
Dalam sejarah perkembangan modernisme Islam terdapat suatu gagasan utama yang selalu dicetuskan oleh para tokoh pembaru, modernis, yaitu kembali kepada al-Qur’an dan hadis. Muhammad Abduh misalnya, dengan serius mengajak untuk kembali kepada al-Qur’an dan berpegang teguh dengannya, dan perlunya penafsiran/interpretasi baru terhadap ajaran-ajaran dasar Islam, sesuai dan sejalan dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Muhammad Abduh mengatakan bahwa Islam tertutup oleh kaum Muslimin (al-Islâm mahjûb bi al-muslimîn), salah satu kunci ungkapan kaum modernis. Arti ungkapan itu adalah, keindahan Islam itu hilang disebabkan oleh kemunduran umat Islam. Kemunduran umat Islam disebabkan mereka tidak lagi menganut Islam yang sebenarnya, dan untuk mengetahui dan memahami Islam yang sebenarnya orang harus kembali kepada al-Qur’an dan hadis. Sehubungan dengan gagasan utama modernisme Islam itu, semua pihak, terutama tokoh-tokoh modernis, sepakat dan antusias untuk mengoperasionalkan atau melaksanakannya. Mengingat perlunya penafsiran atau interpretasi baru terhadap ajaran-ajaran Islam, khususnya al-Qur’an, maka mau tidak mau terlibatlah apa yang disebut tafsir.
Al-Qur’an, sebagaimana diyakini umat Islam, adalah kalam Tuhan yang menyimpan segala petunjuk dan ajaran-Nya, yang meliputi segala aspek kehidupan manusia yang umumnya diungkap dalam bentuk dasar-dasar. Dan tafsir dipandang dari segi eksistensinya yang sangat melekat dengan al-Qur’an sungguh amat penting dan utama. Kepentingan dan keutamaan kedudukan tafsir amat terasa apabila dihubungkan dengan keharusan umat Islam untuk memahami kandungan atau makna ajaran-ajaran al-Qur’an. Memahami segala kandungan al-Qur’an merupakan perintah Allah swt. Sebagaimana dapat dipahami dari firman-Nya berikut:
كتاب أنزلناه إليك مبارك ليدبروا آياته وليتذكر أولوا الألباب
Ini adalah sebuah kitab (al-Qur’an) yang kami turunkan kepadamu dengan penuh berkah supaya mereka memperhatikan (men-tadabbur-i) ayat-ayat, dan supaya orang-orang yang mempunyai fikiran mendapatkan pelajaran. (Q 38: 29).
Demikian penting upaya memahami dan merenungkan al-Qur’an demi mendapatkan pemahaman berharga darinya. Dan bahwa kamajuan umat Islam baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama sangat tergantung pada sejauhmana mereka berpedoman dan berpegang teguh pada al-Qur’an. Untuk sampai pada tingkat pengamalan dan pelaksanaan segala petunjuk ajaran dan aturan Tuhan tidaklah mudah, kecuali dengan memahami pesan-pesan Tuhan yaitu al-Qur’an, serta menghayati prinsip-prinsip ajarannya dengan kuat dan sungguh-sungguh, karena semua itu termuat dalam kemasan bahasa Arab yang ber-uslub tinggi, dan jelas diperlukan tafsir. Tanpa tafsir, menurut ‘Abd al-Azhim al-Zarqani, maka tidak akan dapat diperoleh apa-apa yang terkandung dalam khazanah al-Qur’an. Semua yang terkandung di dalam al-Qur’an tidak dapat disimak dengan baik kecuali dengan menafsirkan al-Qur’an terlebih dahulu. Begitupun gagasan utama modernisme Islam, yakni kembali kepada al-Qur’an dan hadis dan perlunya penafsiran baru yang sesuai dengan kemajuan dan perkembangan zaman modern, harus berurusan pula dengan tafsir.
Interpretasi dari sejarah kenabian atau lebih dikenal dalam dunia filsafat sebagai hermeneutika of fenomenologi (yang disebut sebagai sebuah Interpretasi pesan Tuhan), dimana Tradisi Nabi menjadi sebuah rujukan yang didapat melalui prosesi penomenologi dipandang sebagai subah karya Imajinasi. Lihat diagram berikut:
Allah SWT Nabi
-Penilaian Keaslian
(Authenticating)
- Pendokumentasian
(Dokumenating)
- Mengelompokkan
Al-Qur’an (Nabi) Sunnah (Organizing)
- Penyaluran
Penyelidikan Al-Qur’an (Transmitting)
(Study Sunnah)
adalah difokuskan untuk
mencari tujuan penulis (Tuhan)
Audient Audient


E. Pesan Tuhan
Pemahaman pesan dari teks yang muncul sepenuhnya tergantung pada dua konsep, konsep pertama bahwa qalb yang juga disebut sebagai 'organ physiology' yaitu nilai-nilai spiritual, mistik dan rohani. Atkifitas spiritual seorang agamawan akan dapat menumbuhkan keyakinan dan pemahaman terhadap pesan Tuhan, karena penafsiran teks tidak terlepas dari nilai-nilai yang berkaitan erat dan sangat mempengaruhi qalb atau jiwa manusia. Konsep kedua, yang akan mungkin lebih akurat dalam konteks ini dengan 'kreatif imaginal potensi', yaitu bahwa akal fikiran manusia sebagai otonomi dan sumber kekuatan berfikir manusia dalam menafsirkan dan memahami tafsiran teks itu sendiri.
Pesan-pesan teks yang sampai kepada manusia (melalui interpretasi dan wujud pemahaman manusia terhadap makna pesan) sehingga manusia melakukan aktifitas spiritual, maka pengalaman spiritual tersebut mencerminkan bahwa imajinasi 'qalb' atau jiwa manusia itu sendiri (yang berfungsi seperti cermin) yang mencerminkan makna pesan tersebut.
Pesan yang diinterpretasikan melalui imajinasi dan akal adalah tentang wujud dan non-wujud atau tentang dunia kejadian dan dunia tindakan dari pesan tersebut. Hal ini tepatnya adalah cara Ibnu Arabi dalam mengkonsep tentang metafisika atau ilmu alam. Sehingga hal ini pula - sebagai sebuah asumsi - yang mendasari hermeneutika adalah bahwa dalam realitas ini ada dua bentuk dunia yang keduanya bisa dibedakan yaitu dunia kejadian dan dunia tindakan. Yang pertama adalah segala proses dalam realitas yang tunduk kepada hukum-hukum objektif alam seperti jatuhnya daun kebawah, meledaknya bintang-bintang di angkasa dan lain sebagainya yang tidak melibatkan kesadaran manusia. Sedangkan yang kedua adalah segala bentuk proses yang melibatkan kesadaran manusia sebagai subjek.
Bila pesan teks yang sampai berupa mistik itu adalah mistik's imaginal yang kemudian diinterpretasikan dengan ‘membuat’ gambaran yang menjadi 'perwakilan' atau 'apparition’ dari pesan itu sendiri. Sehingga mereproduksi pesan teks melalui imajinasi murni merupakan cara interpretasi subjektif.
Tuhan dalam konsep metodologi penafsiran adalah sebagai author, Tuhan sebagai pemberi pesan, malaikat sebagai media yang mengantarkan pesan, Nabi sebagai penerima pesan, dan menginterpretasikannya.
Interpretasi pesan Tuhan dengan tujuan memahami tujuan Tuhan tidak terlepas dari pengenalan terhadap pemilik pesan. Memahami dunia pemilik pesan untuk menjadi "bayangan" atau "cermin tuhan" adalah prioritas utama dalam menyampaikan pesan sebagai tugas seorang utusan (baca: Nabi) kepada manusia. Maka keautentikan pesan tersebut diukur dari cara Interpretasi para Nabi terhadap pesan Tuhan yang akan mereka sampaikan kepada manusia.
Hasil dari interpretasi akan diberikan kepada manusia bertujuan agar manusia melaksanakan pesan Tuhan, dan Tuhan akan memberikan apresiasi atas hal ini (Lihat organization chart A). Dan esensi dari cara interpretasi pesan tuhan tersebut merupakan sebuah Imajinal kretif Nabi. (lihat organization chart B).







Imajinasi Kreatif (Manusia berfikir)
Organization Chart A Organization Chart B
Tuhan Tuhan




Kesatuan Malaikat Malaikat Imajinal Kreatif
Imajinasi
(Tuhan,
Malaikat,
Nabi)


Nabi Manusia Manusia

Pemahaman pesan tuhan ini tergantung pada kemampuan jiwa manusia untuk menjalani perjalanan menuju kesempurnaan. Status person tidak hanya diberikan ketika manusia lahir, namun merupakan tujuan yang akan dicapai. Hasil yang sebenarnya dari kehidupan ialah perjalanan hidup manusia itu yang diukur pada skala vertikal. Ukuran kesuksesan perjalanan spiritual ini adalah cinta dan kapasitas yang berkaitan dengan Tuhan. Kemampuan untuk melihat keindahan Tuhan.
Mistik tidak menyangkal dunia-tapa tetapi semua sebagai kreasi dari Tuhan. Kecantikan keindahan (Tuhan) adalah kemenangan, dan cinta manusia untuk kesejahteraan bukan merupakan hambatan untuk manusia berserikat dengan Tuhan, tetapi ambang batas untuk nafsu ilahi. Hal tersebut telah dikenal sebagai kepercayaan.
Esensi real dari pesan Tuhan yang diinterpretasikan atau ditafsirkan secara interpretasi fenomenologi menunjukkan bahwa pesan Tuhan dapat berupa teks seperti kitab suci (yang interpretasinya disebut dengan istilah tafsir atau hemeneutika), dan pesan-pesan Tuhan yang sifatnya kontekstual seperti pesan Tuhan melalui fenomenologi.

F. Penafsiran Pesan Tuhan
Berbicara mengenai pesan Tuhan (baik bersifat teks dan konteks), orang yang memahaminya biasanya memandangnya sebagai sebentuk ‘ilmu tafsir’ yang mendalam dan bercorak filosofis, sementara apabila menyinggung mengenai tafsir pasti akan berkaitan dengansalah satu variable dalam agama, yaitu kitab suci.
Agama memang berhubungan sangat erat dengan dunia tafsir, baik secara konseptual maupun histories. Secara konseptual, agama dapat dikatakan sebagai “komunitas tafsir”, sehingga kajian terhadap agama itu pada dasarnya adalah penafsiran terhadap tafsir. Sementara secara histories, agama merepresentasikan adanya keragaman penafsiran manusia yang sangat erat baerkaitan dengan latar belakang histories masing-masing pandangan; bakan sering terjadi ketegangan dalam agama, misalnya antara kalangan yang bepola fakir liberal dan yang berpola fakir ortodok, dimana tentunya kedua kalangan ini memiliki pola penafsiran yang berbeda terhadap agama mereka.
Salah satu dimensi yang paling dekat dari agama dengan hermeneutik adalah kitab suci, karena memang hermeneutika pada dasarnya muncul sebagai suatu metode untuk memahami kitab suci, termasuk kitab suci umat Islam, al-Qur’an.
Persoalan yang sering dihadapi berkait dengan hermeneutika dan kitab suci ini antara lain adalah bagaimana teks kitab suci mampu berbicara dengan generasi yang datang setelah teks itu lahir? Bagaimana teks kitab suci itu bisa operasional dan fungsional dalam masyarakat yang berbeda corak hidup dan kultur budayanya dengan masyarakat saat teks itu lahir? Apakah jaminannya sebuah penafsiran atau pemahaman itu bisa diterima? Bisakah pesan teks itu disampaikan tanpa mengalami distorsi dan penyimpangan makna?, dan sebagainya.
Term khusus yang digunakan dalam pengertian kegiatan interpretasi dalam wacana keilmuan Islam adalah “tafsir”, bahasa Arab fassara atau fasara ini digunakan secara teknis dalam pengertian eksegesis di kalangan orang Islam dari abad ke-5 hingga sekarang.
Istilah hermeneutik sendiri dalam sejarah keilmuan Islam, khususnya tafsir al-Qur’an klasik, memang tidak ditemukan. Istilah tersebut – kalau melihat perkembangan hermeneutika – popular ketika Islam justru dalam masa kemunduran. Meski demikian, menurut Farid Esack dalam bukunya Qur’an: Liberation and Pluralism, praktik hermenetik sebenarnya telah dilakukan umat Islam sejak lama, khususnya ketika menghadapi Al-Qur’an. Bukti dari hal itu adalah:
1. Problematika Hermeneutik itu senantiasa dialami dan dikaji, meski tidak ditampilkan secara definitive. Hal ini terbukti dari kajian-kajian mengenai anbabun-nuzul dan nasakh-mansukh.
2. Perbedaan komentar-komentar yang actual terhadap al-Qur’an (tafsir) dengan aturan, teori atau metode penafsiran telah ada sejak mulai munculnya literatur tafsir yang disusun dalam bentuk ilmu tafsir.
3. Tafsir tradisional itu selalu dimasukkan dalam kategori-kategori, misalnya tafsir syi’ah, tafsir mu’tazilah, tafsir hokum, dan lain sebagainya. Hal itu menunjukkan adanya kelompok-kelompok tertentu, ideologi-ideologi tertentu, maupun horizon-horison sosial tertentu dari tafsir.
Meskipun demikian, operasionalisasi hermeneutika secara utuh seringkali ditentang oleh umat Islam tradisional, karena hermeneutika ini setidaknya membawa tiga macam implikasi yang bertentangan dengan pendirian ilmuan muslim konvensional. Tiga macam implikasi tersebut adalah:
1. Hermeneutika membawa implikasi bahwasanya tanpa konteks, teks itu tidak berharga dan tidak bermakna; sementara ide tradisional menyatakan bahwa makna yang sebenarnya itu adalah apa yang dimaksud oleh Allah sebagai Author atau pemilik pesan.
2. Hermeneutika memberi penekanan kepada manusia sebagai ‘perantara’ yang menghasilkan makna, sementara ide tradisional atau para mufassir menyetakan bahwa Tuhanlah sebenarnya yang menganugrahkan pemahaman yang benar terhadap seseorang.
3. Sangat berbeda dengan tradisi hermeneutik, ilmuan muslim tradisional telah membuat pembedaaan yang tidak terjembatani antara teks al-Qur’an dan tafsir serta penerimanya, teks al-Qur’an dianggap sangat sacral sehingga makna yang sebenarnya tidak mungkin bisa dicapai.
Disamping berakibat ditentangnya pola penafsiran ala hermeneutika, pandangan-pandangan ilmuan tradisional tersebut sampai tingkat tertentu juga menyebabkan munculnya rasa ‘kurang percaya diri’ dan ‘kurang berani’ dalam penafsiran; terbukti misalnya dengan adanya idiom wallahu a’lam dalam setiap akhir penafsiran, maksudnya betapapun penafsiran yang dilakukan tersebut sangat rentan terhadap kesalahan, karena yang paling ‘mampu’ memahami makna yang sebenarnya adalah Allah. Di satu sisi hal ini dapat dipandang sebagai satu sikap rendah hati, tetapi di sisi lain, sikap semacam ini pula akhirnya akan membawa implikasi ‘tidak sungguh-sungguh’ karena merasa tidak sempurna dan yang lebih ironis lagi adalah ‘tidak berani’ memberi kepastian akan kebenaran makna yang dipahami, sementara sebagai sebuah pedoman, al-Qur’an harus jelas dan pasti maksudnya agar dapat operasional dalam kehidupan. Agaknya pendirian ini melupakan sabda Nabi yang menyatakan bahwa betapapun salah ijtihad itu, maka ia tetap mendapat pahala. Manafsirkan dan memahami al-Qur’an harus dikatakan adalah sebentuk ijtihad.
Dewasa ini telah banyak pemerhati al-Qur’an yang melakukan kritik historis dan linguistik yang menjadi cirri khas hermeneutika. Tulisan-tulisan yang menyangkut bidang ini banyak bermunculan, baik dari kalangan orientalis maupun dari kalangan umat Islam sendiri. Di antara tulisan-tulisan tersebut misalnya Qur’anic Hermeneutika: The Views of al-Tabari and Ibn Katsir Karya Jane Mc Auliffe yang menekankan pada metode tafsirnya dan sedikit pada horizon sosialnya, dan tidak boleh ditinggalkan dua sarjana muslim kontemporer, Fazlurrahman dengan penafsiran double movement-nya dan Mohammed Arkoun dengan lingkaran bahasa-pemikiran- sejarah-nya.
Penafsiran Double Movement dari Fazlurrahman adalah penafsiran dua arah, yaitu merumuskan Visi Qur’an yang utuh kemudian menerapkan prinsip umum tersebut dalam situasi sekarang. Secara ringkas model penafsiran Fazlurrahman tersebut bisa digambarkan dengan tabel berikut:











Fazlurrahman sendiri agaknya telah berusaha merealisasikan konsepnya ini dengan menulis sebuah buku tafsir tematik yang diberinya judul Major Themes of The Qur’an.
Sementara itu bagi Arkoun penafsiran yang utuh adalah penafsiran yang melihat keterkaitan dimensi bahasa pemikiran dan sejarah.
Untuk menjalankan penafsiran yang hermeneutis ini, bagi Arkoun jalan pertama yang harus ditempuh adalah dengan memilah dan menunjukkan maka teks pertama atau teks pembentuk dan mana teks hermeneutis. Arkoun ingin mengembalikan pemikiran Islam kepada wacana Qur’an seperti sediakala yang terbuka terhadap berbagai pembacaan dan dengan demikian terbuka pula terhadap berbagai pemahaman.
Kesulitan yang dirasakan Arkoun dalam proyeknya ini adalah kesulitan bahwa ternyata al-Qur’an sebagai teks pertama atau peristiwa pertama telah tertimbun sedemikian rupa oleh pemikiran Islam yang berwujud berbagai macam literature yang merupakan teks-teks kedua atau teks-teks hermeneutis. Timbunan ini sedemikian rupa sehingga menghalangi untuk memahami al-Qur’an dalam keadaannya seperti sediakala.
Untuk mengatasi hal itu, Arkoun “meminjam” metode “dekonstruksi” atau “pembongkaran”. Derrida dan juga analisa arkeologis ini diupayakan satu klarifikasi histories (al-adha’ah at-tarikhiyyah) terhadap teks-teks hermeunetis dari tradisi pemikiran tertentu, yaitu memperjelasnya dengan membersihkan “debu” ruang dan waktu yang menyelubunginya sehingga akan terlihat hubungan antara teks-teks dari fase sejarah tertentu dengan konteks sosial, generasi serta gerakan-gerakan pemikiran yang beragam dan berada dalam waktu yang sama.
Disamping menunjukkan adanya hubungan antara pemikiran dengan sejarah, Arkoun juga menunjukkan adanya hubungan yang tak terpisahkan antara pemikiran dengan bahasa. Setiap pemikiran keislaman, disamping merupakan “cermin” dari dinamika pergumulan realitas sosio-historis pada titik sejarah tertentu, juga terumuskan, terkonsepsikan dan terungkapkan dalam “bahasa” tertentu.
Sementara itu berkait dengan penafsiran yang dengan intensif mengolah pemahaman terhadap teks, bisa dicatat nama Toshihiko Izutsu dan ‘Aisyah Abdurrahman binti Syati’. Toshiko Izutsu dengan bukunya Ethico Religius Concept in the Qur’an berusaha menerapkan metode semantic dalam mengolah teks Al-Qur’an. Metode ini dilakukan dengan cara studi analisis terhadap perspektif-perspektif yang terkristalkan dalam kata-kata. Dengan demikian penafsiran al-Qur’an harus bertumpu pada kosa-katanya, baik secara individual maupun rasional dalam jaring atau struktur tertentu. Analisis pengungkapan makna ini diorientasikan untuk memperoleh gambaran pandangan dunia (weltanscauung) al-Qur’an.
Hal yang serupa dilakukan juga oleh Aisyah Abdurrahman binti Syati’ dengan kitab tafsirnya yang berjudul At-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim. Tafsir ini pada dasarnya merealisasikan ide suaminya, Amin Khuli berkenaan dengan penafsiran al-Qur’an yang berupaya melakukan eksplorasi linguistik sekaligus melacak kronologi pewahtuan tema-tema yang dibahas dan didukund riwayat-riwayat yang berkaitan. Ini dimaksudkan untuk dapat memahami konteksnya.
Apa yang dilakukan oleh Rahman, Arkoun, Aisyah Abdurrahman, Toshiko, juga Abu Zayd adalah contoh-contoh bagaimana “mengolah” al-Qur’an dengan alat hermeunetika. Hermeunetika, sebagaimana disinggung diatas, merupakan suatu metode penafsiran yang berangkat dari analisa bahasa yang kemudian melangkah kepada analisa psikologis, histories dan sosiologis. Jika pendekatan ini dipertemukan dengan kajian teks al-Qur’an, maka per-soalan dan tema pokok yang dihadapi adalah bagaimana teks al-Qur’an hadir di tengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan dan didialogkan dalam rangka menghadapi realitas sosial.
Sehubungan dengan hal ini, maka perlu diperhatikan tiga hal yang menjadi asumsi dasar dalam penafsiran yang bercorak hermeneutik ini, termasuk penafsiran al-Qur’an yaitu:
1. Para penafsir itu adalah manusia
Asumsi ini menyatakan bahwasanya seorang yang menafsirkan teks kitab suci itu tetaplah manusia biasa yang lengkap dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan asumsi ini diharapkan bisa dimengerti bahwasanya manusia itu tidak akan bisa melepaskan diri dari ikatan historis kehidupan dan pengalamannya, dimata ikatan tersebut sedikit banyak akan membawa pengaruh dan mewarnai corak penafsirannya. Asumsi ini dimaksudkan untuk tidak memberikan vonis “mutlak” benar atau salah kepada suatu penafsiran, namun lebih mengarah untuk melakukan analisa kritis terhadap satu penafsiran.
Para penafsir adalah manusia yang membawa “muatan-muatan” kondisi kemanusiaan yang mereka alami. Artinya, setiap generasi muslim sejak masa Nabi Muhammad, sambil membawa “muatan”-nya itu, telah memproduksi komentar-komentar mereka sendiri terhadap al-Qur’an. Maka tidaklah mengherankan jika akhirnya ada beragam interpretasi dari setiap generasi.
2. Penafsiran itu tidak dapat lepas dari bahasa, sejarah dan tradisi
Segala aktifitas penafsiran pada dasarnya merupakan suatu partisipasi dalam proses historis-linguistik dan tradisi yang berlaku, dimana partisipasi ini terjadi dalam ruang dan waktu tertentu. Pergulatan umat Islam dengan al-Qur’an juga berada dalam “kurungan” ini. Seseorang tidak mungkin bisa melepaskan diri dari bahasa, budaya dan tradisi dimana mereka hidup. Para pemikir reformis sering menyetakan bahwasanya krisis yang terjadi di dunia Islam serta ketidak mampuan umat Islam untuk memberikan satu kontribusi yang berguna bagi dunia kontemporer adalah dikarenakan tradisi. Jalan keluar yang dianjurkan oleh para reformis itu seringkali adalah dengan meninggalkan ikatan tradisi dan “kembali kepada al-Qur’an”. Pernyataan tersebut sebenarnya tidak selaras dengan fakta bahwasanya satu penafsiran itu tidak bisa secara sepenuhnya mandiri berdasarkan teks, tetapi pasti berkaitan dengan muatan historisnya.
3. Tidak ada teks yang menjadi wilayah bagi dirinya sendiri
Nuansa sosio-historis dan linguistik dalam pewahyuan al-Qur’an itu tampak dalam isi, bentuk, tujuan dan bahasa yang dipakai al-Qur’an. Hal ini tampak pula misalnya dalam pembedaan antara ayat-ayat makkiyah dan ayat-ayat madaniyah. Dalam hubungannya dengan proses pewahyuan, bahasa dan isi di satu sisi; serta dengan komunitas masyarakat yang menerimanya disisi yang lain, al-Qur’an tidaklah “unik”. Wahyu selalu saja merupakan komentar terhadap satu kondisi masyarakat tertentu”.

Patut diperhatikan bahwasanya al-Qur’an dalam perspektif hermeneutika ini lebih dipahami dalam dimensi “relasional”-nya dari pada sebagai suatu fenomena atau kategori keagamaan yang absolute. Sebagaimana Williem A. Graham dalam tulisannya Approaches to Islam in religios Studies, Esack berpendapat bahwasany pendapat yang lebih tepat dan berguna terhadap kitab suci adalah pemahaman yang disertai kesadaran bahwasanya kitab suci itu tidak hanya sekadar teks, tetapi selalu merupakan satu teks yang berhubungan dengan satu tradisi yang sedang berjalan, yakni berhubungan dengan pribadi-pribadi atau masyarakat-masyarakat yang menganggapnya sacral dan normatif.

G. Hermeneutika dan Dinamisasi Tafsir
Al Qur'an sebagai kalam Tuhan yang suci di turunkan kepada umat manusia melalui utusannya, Muhammad adalah sebagai petunjuk bagi manusia dan sebagai penerang dalam kegelapan. Banyak kajian dilakukan para Ulama' terdahulu tentang penafsiran Al Qur’an, yang variatif-inovatif, baik itu diantara kalangan muslim sendiri Maupun non Muslim. hal itu disebabkan karena Al Qur'an adalah kitab yang transenden sekaligus profan, karena perpaduan antara dua faktor itulah Al Qur'an menjadi kitab yang unik dan banyak memunculkan pemikiran dan penafsiran yang terus berkembang hingga sekarang.
Dalam hal penafsiran ini kemudian muncul beberapa ilmuan muslim yang mencoba mendobrak keilmuan tafsir yang sejak lama terjadi stagnasi yang di latar belakangi oleh berbagai alasan dan berbagai faktor, dengan berbagai metode yang di pakai, tujuan kesemuanya adalah bagimana mencari makna asli dari sebuah kitab ajaran Ilahi sehingga manusia dapat menerima pesan universal yang diturunkan oleh Allah SWT sebagai petunjuk kehidupan manusia di bumi.
Lahirnya berbagai produk interpretasi yang tidak lagi sesuai dengan tuntutan nilai-nilai modernitas seperti demokrasi, HAM, kesetaraan gender dan pluralisme semakin mendesak dilejitkannya paradigma interpretasi baru yang mampu melampaui metode tafsir yang selama ini dipakai. Paradigma interpretasi baru yang akhir-akhir ini ditawarkan dan telah diaplikasikan secara serius oleh para pemikir modern dari Fazlurrahman sampai Nashr Hamid Abu Zayd adalah hermeneutika.
Sebagai sebuah paradigma interpretasi, hermeneutika memang muncul dan berkembang di Barat. Berbeda dengan paradigma tafsir yang dinilai sebagian pemikir telah mengalami stagnasi, hermeneutika berkembang semenjak Schlemeicher – yang oleh Abu Zayd diklaim sebagai Bapak Hermeneutika dan representasi hermeneutika klasik – sampai polarisasi obyektifitasnya Emilio Betti dan subyektifitasnya Gadamer. Perkembangan hermeneutika telah melewati dialektika tesis, antitesis bahkan sintesa, sehingga mengkonsekwensikan corak hermeneutika yang begitu beragam, bahkan kontradiktif.
Menyimak asal usul hermeneutika, perkembangannya serta madzhab-madzhab hermeneutika memang menarik. Sama menariknya ketika kita merunut perkembangan tafsir klasik dengan melakukan kajian kritis terhadap dua arus penting metodologi tafsir yang dibangun semenjak abad ke ke 9 H sampai 13 H, yaitu tafsir riwayat (bil ma'tsur) dan pemikiran (bir ra’yi). Atau mencermati pemetaan ala Farmawi yang mengklasifikasi metode penafsiran al Qur’an menjadi empat: muqâran, ijmâli, tahlîli, dan mawdhû’i. Semua itu, akan menghantarkan kita pada suatu kesimpulan betapa semaraknya diskursus tafsir pada waktu itu. Akan tetapi sayang, kontinuitasnya sebagai paradigma interpretasi yang evolutif tidak menemukan dinamisasi signifikan oleh kalangan penggiatnya.
Akibatnya ketika hermeneutika ditawarkan, ia seolah menjadi "oase" di tengah gersangnya tafsir-tafsir yang ada. Terlebih, di era modern ini kalangan penggiat tafsir kurang agresif mempopulerkan kekayaan khazanah tafsir sebagai sebuah metode yang khas dalam Islam. Toby Lester pernah memuji Mu'tazilah yang ia anggap sebagai pioneer pendekatan rasional dalam studi Islam dan al Qur'an. Lester juga menyebut kalangan sarjana Islam mutakhir yang merintis dan melanjutkan kajian-kajian kritis al Qur'an yang dulu dimulai oleh Mu'tazilah, seperti Nashr Hamid Abu Zayd dan Mohamed Arkoun. Abu Zayd mengaku dalam banyak bukunya bahwa apa yang dia lakukan adalah melanjutkan studi al Qur'an dengan pendekatan literer yang telah dimulai oleh murid Muhammad Abduh, yaitu Amin Al Khauli dan istrnya, A'isyah bint al Syathi'. Bagi penulis, rintisan Abu Zayd merupakan "breakthrough" dan sangatlah penting ketika akhir-akhir ini yang muncul kepermukaan dan kerap diekspose oleh media massa adalah model tafsir yang rigid terhadap teks, sehingga lahir lah berbagai produk interpretasi yang cenderung bias gender, kurang mengapresiasi HAM dan tidak peka terhadap masalah-masalah sosial.
Upaya dinamisasi tafsir tentu masih mempunyai harapan. Hal itu bisa dilakukan dengan melakukan analisa kritis dengan pisau bedah yang mempunyai daya sayat melacak esensi tafsir dan takwil, sejarah perkembangannya serta pemetaan metode dan berbagai corak tafsir. Analisa kritis ini lah yang akan menghantarkan para penggiat tafsir pada kondisi dan posisi obyektif tafsir. Strategi ini kemudian diikuti dengan melakukan kajian elaboratif dan komprehensif terhadap hermeneutika, pemantauan setiap perkembangan terbaru dan pemanfaatan terhadapnya.
Dalam hal ini, sikap kritis yang diajarkan dalam hermeneutika terhadap semua teks jelas menjadi sisi menariknya. Ungkapan klasik Nietszhe yang sering dijadikan pegangan adalah ''Jangan lihat apa yang dikatakan, tetapi lihat siapa yang mengatakan dan mengapa itu dikatakan serta apa kepentingan di balik semua itu.'' Dalam hermeneutika, seorang hermeneut dituntut untuk tidak sekadar melihat apa yang ada pada teks, tetapi lebih kepada apa yang ada di balik teks.
Lepas dari berbagai varian hermeneutika, ada kesamaan pola umum mengapresiasi 'kencan' segitiga (triadic) antara teks, pembuat teks dan pembaca (penafsir teks). Dan dari berbagai madzhab hermeneutika itu, dapat disimpulkan bahwa dalam memahami obyek, baik berupa teks-teks keagamaan, karya kesusastraan maupun dokumen-dokumen hukum, hermeneutika menekankan metode pendekatan linguistik, rekonstruksi historis, psikologis pengarang, antropologis, komparasi teks, dialogis, dan pembebasan diri interpreter dari bias subyektifitas. Pemahaman umum yang dikembangkan, sebuah teks selain produk pengarang, juga merupakan produk budaya (Abu Zayd) atau episteme suatu masyarakat (Foucault). Karenanya, konteks historis dari teks menjadi sesuatu yang sangat signifikan untuk dikaji.
Tentu saja, para penggiat tafsir bisa mengkongklusikan suatu unsur paradigma interpretasi baru dari berbagai madzhab hermeneutika yang ada. Mereka bisa membaca dan belajar dari titik berat analisa gramatikal, psikologi, komparasi dan rekontruksi historisnya Schlemeicher, integralitas konteks hidup dalam sebuah teks ala Dilthey dan Ricoeur. Sedangkan Husserl, baginya teks hanyalah fenomena yang harus dipahami menurut “kehendak murni” teks itu sendiri alias “opo onone”. Mereka juga bisa menggandeng Gadamer yang tampil beda, di mana ia mengandaikan pemaknaan yang tidak hanya mereproduksi makna yang dikehendaki pembuat teks, tetapi lebih menekankan interpretasi produktif. Yang terakhir inilah 'cita rasa' hermeneutika Abu Zayd dalam bukunya Isykâliyyat al-Qirâ’ah wa Aliyyât al-Ta’wîl.
Upaya belajar dari capaian madzhab-madzhab hermeneutika Barat tidak berarti mengadopsi dan mengaplikasikannya secara total dengan menanggalkan karakter khusus teks-teks Islam terutama al Qur'an. Jika para hermeneut Barat berangkat dari problem originality teks Bibel maka para hermeneut muslim bisa berangkat dari teks al Qur'an yang tidak mempunyai problem serupa. Begitu juga jika hermeneut Barat berusaha menciptakan makna yang lebih baik dari kehendak pengarang, maka dalam konteks al Qur'an tidak ada makna yang lebih baik dari apa yang dikehendaki Tuhan.
Di samping itu, segala ikhtiar interpretasi terhadap teks-teks Islam dengan tafsir-hermeneutis sebagai paradigmanya seharusnya berangkat dari berbagai bentuk problematika sosio-politik dan budaya yang dihadapi umat Islam dengan berbagai 'ciri khas'nya; keadilan, keterbelakangan, kemiskinan, otoritarianisme, HAM, pluralisme dan seterusnya. Dengan begitu, bentuk interaksi dengan budaya dan produk intelektual yang dihasilkan Barat tidak sekedar 'ekspor-impor' secara terbuka atau tertutup penuh, akan tetapi harus terjalin dalam sebuah proses dialektika yang kritis, intens dan produktif.
Upaya-upaya di atas bisa dilakukan apabila kita mempercayai hipotesa yang dikemukakan Nashr Hamid Abu Zayd dalam kitabnya Isykâliyyat al-Qirâ’ah wa Aliyyât al-Ta’wîl yang menyatakan, "Al-hermeneutika (al-hermeneuthiqa) – idzan – qadliyyatun qadîmatun wa jadîdatun fi nafs al-waqti, wa hiya fi tarkiziha ‘ala ‘alaqati al-mufassir bi al-nash laysat qadliyyatan khasatan bi al-fikri al-gharbi, bal hiya qadliyyatun lahâ wujûduha al-mulih fi turâtsina al-‘arabi al-qadîm wa al-hadîts ‘ala sawa’." Artinya: "Hermeneutika – kemudian – adalah diskursus lama sekaligus baru. Konsentrasi pembahasannya adalah tentang relasi penafsir dengan teks, bukan hanya diskursus dalam pemikiran Barat, akan tetapi diskursus yang wujudnya juga ada dalam turats Arab, baik Arab klasik maupun kontemporer. Sehingga, hermeneutika sebetulnya merupakan kelanjutan saja dari tafsir klasik yang stagnan.

DAFTAR PUSTAKA
Abou El Fadl, Khaled, Speaking in God’s Name, Islamic Law, Authory, and Woman, (Oxford, Poniworld, tt).
Al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an (Mesir: Isa al-Babi al-Halabi, 1972), Jilid II.
Al-Zarqani, Abd Al-‘Azhim, Manahil al-irfan fi ulum al-Qur’an, (Mesir: Isa al-Babi al-Halabi, 1972), Jilid II.
Adnan Amal, Taufik, Metode dan Alternatif Neomodernisme Fazlurrahman, (Bandung: Mizan), 1990.
Arkoun, Mohammed, Al-Fikr al-Islamy: Naqd wa al-Ijtihad, terj. Hasyim Shalih, (London: Dar as-Saqi), 1990.
Faiz, Fahruddin, Hermeneutika Al-Qur’an ‘Tema-tema Kontroversial, (Yokyakarts: eLSAQ Press), 2005.
Faiz, Fahruddin, Hermeneutika Qur’an’I ‘Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi, (Yokyakarts: Qalam), 2002.
Fuad al-Baqi, Muhammad, Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-Karim (Beirut: Dar al-Fikr, 1981).
Hasan, M.Ali, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Bulang Bintang), cet. I, 1988.
Khalil al-Qattan, Manna’, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, terj. Mudzakir AS, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa), cet.10, 2007.
Mansyur, M dkk, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, (Yokyakarta: TH-Press), 2007.
Madjid, Nurcholish, Ed, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), cet.II, 1984.
Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang), cet.V, 1987
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Bulan Bintang), cet.I, Jilid II, 1974.
Syauki Nawawi, Rif’at, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh ‘Kajian Masalah Akidah dan Ibadat’, (Jakarta: Paramadina), 2002.